PROPOSAL
LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI
PELAKSANAAN 1P RESIKO PERILAKU KEKERASAN
Oleh :
Anik Wijayanti 20120986
Mita Elistya W P 20121014
AKPER
MUHAMMADIYAH KENDAL
2014/2015
LAPORAN PENDAHULUAN
A. MASALAH
UTAMA
Perilaku Kekerasan
B.
PROSES
TERJADINYA MASALAH
1. Pengertian
Perilaku
kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik secara diri sendiri, orang lain maupun lingkungan
(Stuart dan Sundeen, 1995).
Perilaku
kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, dalam Harnawati,
1993).
Setiap
aktivitas bila tidak dicegah dapat mengarah pada kematian (Stuart dan Sundeen,
1998).
Suatu
keadaan dimana individu mengalami perilaku yang dapat melukai secara fisik baik
terhadap diri sendiri maupun orang lain (Towsend, 1998).
Suatu
keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri,
lingkungan, termasuk orang lain dan barang-barang (Maramis, 1998).
Perilaku
kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan secara verbal dan fisik
(Ketner et al., 1995).
Perilaku kekerasan adalah keadaan
dimana individu-individu beresiko menimbulkan bahaya langsung pada dirinya
sendiri ataupun orang lain (Carpenito, 2000).
Jadi, perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan individu yang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan/mencederai diri sendiri, orang lain bahkan
dapat merusak lingkungan.
C.
ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut
teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan
oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
a) Teori Biologik
Teori
biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area
pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem limbik,
lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam
memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem
informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini
maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya
gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan,
kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen
dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif.
Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
2) Biokimia
Berbagai
neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan
serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif.
Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye
dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
3) Genetik
Penelitian
membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan genetik
karyotype XYY.
4) Gangguan Otak
Sindroma
otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak
kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus
temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit
seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b) Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalitik
Teori ini
menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan
rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri
rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku
agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap
rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
2) Teori Pembelajaran
Anak
belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua
mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai
prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian
yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama
tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka
mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak
mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah
dewasa.
c) Teori Sosiokultural
Pakar
sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap perilaku
agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan
sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada
perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan
keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai
/padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan.
Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
2.
Faktor Presipitasi
Faktor-faktor
yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan
(Yosep, 2009):
a) Ekspresi diri, ingin
menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah
konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b) Ekspresi dari tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c) Kesulitan dalam mengkomunikasikan
sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah
cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d) Ketidaksiapan seorang ibu dalam
merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e) Adanya riwayat perilaku anti sosial
meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol
emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
f) Kematian anggota keluarga yang
terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan
tahap perkembangan keluarga.
D. TANDA DAN GEJALA
1. Fisik : mata melotot/pandangan
tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, serta postur
tubuh kaku.
2. Verbal : mengancam, mengumpat dengan
kata-kata kotor, berbicara dengan nada keras, kasar dan ketus.
3. Perilaku : menyerang orang lain,
melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan, amuk/agresif.
4. Emosi : tidak adekuat, tidak aman
dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan,
mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual : mendominasi, cerewet,
kasar, berdebat, meremehkan dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada
sarkasme.
6. Spiritual : merasa diri berkuasa,
merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral dan kreativitas terhambat.
7. Sosial : menarik diri, pengasingan,
penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran.
8.
Perhatian : bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan
seksual.
(Nita Fitria,
2009. hal 140)
E.
MEKANISME
KOPING
Perawat
perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat membantu klien
untuk mengembangkan mekanisme koping yang kontruktif dalam mengekspresikan
kemarahannya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan
ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial
dan reaksi formasi.
Perilaku
kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang berkepanjangan dari
seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat berpengaruh dalam
hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat menyebabkan
seseorang rendah diri (harga diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan
orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi
akan memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau bayangan yang meminta klien
untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut akan berdampak pada keselamatan
dirinya dan orang lain (resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan
lingkungan).
Selain
diakibatkan berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang kurang baik
dalam menghadapi kondisi klien dapat mempengaruhi perkembangan klien (koping
keluarga tidak efektif). Hal ini tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk
RS atau menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen
terapeutik inefektif).
(Nita Fitria, 2009. hal 145)
F.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
pada klien dengan perilaku kekerasan meliputi penatalaksanaan keperawatan dan
penatalaksanaan medis.
1.
Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan
keperawatan dapat dilakukan melalui proses pendekatan keperawatan dan terapi
modalitas.
a) Pendekatan proses keperawatan
Penatalaksanaan
keperawatan yang dilakukan berdasarkan proses keperawatan, yaitu meliputi
pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, rencana tindakan keperawatan
serta evaluasi.
1) Terapi Modalitas
Terapi
kesehatan jiwa telah dipengaruhi oleh perubahan terkini dalam perawatan
kesehatan dan reimbursement, seperti pada semua area kedokteran, keperawatan,
dan disiplin ilmu keshatan terkait. Bagian ini secara singkat menjelaskan
modalitas terapi yang saat ini digunakan baik pada lingkungan, rawat inap,
maupun rawat jalan (Videbeck, 2001, hlm. 69).
(a) Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan
lingkungan bagi semua klien ketika mencoba mengurangi atau menghilangkan
agresif. Aktivitas atau kelompok yang direncanakan seperti permainan kartu,
menonton dan mendiskusikan sebuah film, atau diskusi informal memberikan klien
kesempatan untuk membicarakan peristiwa atau isu ketika klien tenang. Aktivitas
juga melibatkan klien dalam proses terapeutik dan meminimalkan kebosanan.
Penjadwalan interaksi satu-satu dengan klien menunjukkan perhatian perawat yang tulus terhadap klien dan kesiapan untuk mendengarkan masalah, pikiran, serta perasaan klien. Mengetahui apa yang diharapkan dapat meningkatkan rasa aman klien (Videbeck, 2001, hlm. 259).
Penjadwalan interaksi satu-satu dengan klien menunjukkan perhatian perawat yang tulus terhadap klien dan kesiapan untuk mendengarkan masalah, pikiran, serta perasaan klien. Mengetahui apa yang diharapkan dapat meningkatkan rasa aman klien (Videbeck, 2001, hlm. 259).
(b) Terapi Kelompok
Pada
terapi kelompok, klien berpartisipasi dalam sesi bersama kelompok individu.
Para anggota kelompok bertujuan sama dan diharapkan memberi kontribusi kepada
kelompok untuk membantu yang lain dan juga mendapat bantuan dari yang lain.
Peraturan kelompok ditetapkan dan harus dipatuhi oleh semua anggota kelompok.
Dengan menjadi anggota kelompok klien dapat, mempelajari cara baru memandang
masalah atau cara koping atau menyelesaikan masalah dan juga membantunya
mempelajari keterampilan interpersonal yang penting (Videbeck, 2001, hlm.
70).
(c)
Terapi keluarga
Terapi
keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang mengikutsertakan klien dan anggota
keluarganya. Tujuannya ialah memahami bagaimana dinamika keluarga memengaruhi
psikopatologi klien, memobilisasi kekuatan dan sumber fungsional keluarga,
merestrukturisasi gaya perilaku keluarga yang maladaptif, dan menguatkan
perilaku penyelesaian masalah keluarga (Steinglass, 1995 dalam Videbeck, 2001,
hlm. 71).
(d) Terapi individual
Psikoterapi
individu adalah metode yang menimbulkan perubahan pada individu dengan cara
mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan perilakunya. Terapi ini memiliki
hubungan personal antara ahli terapi dan klien. Tujuan dari terapi individu
yaitu, memahami diri dan perilaku mereka sendiri, membuat hubungan personal,
memperbaiki hubungan interpersonal, atau berusaha lepas dari sakit hati atau
ketidakbahagiaan.
Hubungan antara klien dan ahli terapi terbina melalui tahap yang sama dengan tahap hubungan perawat-klien: introduksi, kerja, dan terminasi. Upaya pengendalian biaya yang ditetapkan oleh organisasi pemeliharaan kesehatan dan lembaga asuransi lain mendorong upaya mempercepat klien ke fase kerja sehingga memperoleh manfaat maksimal yang mungkin dari terapi (Videbeck, 2001, hlm. 69).
Hubungan antara klien dan ahli terapi terbina melalui tahap yang sama dengan tahap hubungan perawat-klien: introduksi, kerja, dan terminasi. Upaya pengendalian biaya yang ditetapkan oleh organisasi pemeliharaan kesehatan dan lembaga asuransi lain mendorong upaya mempercepat klien ke fase kerja sehingga memperoleh manfaat maksimal yang mungkin dari terapi (Videbeck, 2001, hlm. 69).
2.
Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan
medis dapat dibagi menjadi dua metode, yaitu metode psikofarmakologi dan metode
psikososial.
a) Metode Biologik
Berikut
adalah beberapa metode biologik untuk penatalaksanaan medis klien dengan
perilaku kekerasan yaitu:
(1) Psikofarmakologi
Penggunaan obat-obatan untuk gangguan jiwa berkembang dari penemuan neurobiologi. Obat-obatan tersebut memengaruhi sistem saraf pusat (SSP) secara langsung dan selanjutnya memengaruhi perilaku, persepsi, pemikiran, dan emosi. (Videbeck, 2001, hlm. 22).
Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm. 643), beberapa kategori obat yang digunakan untuk mengatasi perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
Penggunaan obat-obatan untuk gangguan jiwa berkembang dari penemuan neurobiologi. Obat-obatan tersebut memengaruhi sistem saraf pusat (SSP) secara langsung dan selanjutnya memengaruhi perilaku, persepsi, pemikiran, dan emosi. (Videbeck, 2001, hlm. 22).
Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm. 643), beberapa kategori obat yang digunakan untuk mengatasi perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
- Antianxiety dan Sedative Hipnotics
Obat-obatan
ini dapat mengendalikan agitasi yang akut. Benzodiazepines seperti Lorazepam
dan Clonazepam, sering digunakan didalam kedaruratan psikiatrik untuk
menenangkan perlawanan klien. Tapi obat ini direkomendasikan untuk dalam waktu
lama karena dapat menyebabkan kebingungan dan ketergantungan, juga bisa
memperburuk gejala depresi.
Selanjutnya pada beberapa klien yang mengalami disinhibiting effect dari Benzodiazepines dapat mengakibatkan peningkatan perilaku agresif. Buspirone obat Antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi. Ini ditunjukkan dengan menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien dengan cedera kepala, demensia dan ’developmental disability’.
Selanjutnya pada beberapa klien yang mengalami disinhibiting effect dari Benzodiazepines dapat mengakibatkan peningkatan perilaku agresif. Buspirone obat Antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi. Ini ditunjukkan dengan menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien dengan cedera kepala, demensia dan ’developmental disability’.
- Antidepressant
Penggunaan
obat ini mampu mengontrol impulsif dan perilaku agresif klien yang berkaitan
dengan perubahan mood. Amitriptyline dan Trazodone, efektif untuk menghilangkan
agresivitas yang berhubungan dengan cedera kepala dan gangguan mental organik.
(Dr.Budi
Anna Keliat, Dkk. 2005)
G.
pohon Masalah
Resiko tinggi mencedarai diri, orang
lain, lingkungan
Perilaku kekerasan
|
PPS : Halusinasi
Isolasi sosial :
menarik diri
|
Regimen
terapeutik inefektif
|
Harga diri rendah
kronis
|
Koping keluarga berduka
disfungsional
Tidak
efektif
(Nita
Fitria, 2009. hal 146)
H. MASALAH
KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
1. Perilaku Kekerasan.
2. Resiko mencederai diri sendiri,
orang lain dan lingkungan.
3. Perubahan persepsi sensori.
4. Harga diri rendah kronis.
5. Isolasi sosial.
6. Berduka fungsional.
7. Penatalaksanaan regimen terapeutik
inefektif.
8. Koping keluarga inefektif.
(Nita Fitria, 2009. hal 146)
I.
DATA YANG
PERLU DIKAJI
1. Masalah keperawatan:
a)
Perilaku kekerasan / amuk
2. Data yang perlu dikaji pada masalah
keperawatan perilaku kekerasan
Masalah Keperawatan
|
Data yang perlu di kaji
|
Perilaku kekerasan
/ amuk
|
Subyektif :
· Klien
mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
· Klien suka
membentak dan menyerang orang yang
mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
· Riwayat perilaku
kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
Obyektif
· Mata merah,
wajah agak merah.
· Nada suara
tinggi dan keras, bicara menguasai.
· Ekspresi
marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
· Merusak dan melempar
barang‑barang
|
(Nita Fitria, 2009. hal 147)
J.
Rencana Tindakan
Diagnosa 1: perilaku kekerasan
Tujuan Umum : Klien terhindar dari mencederai diri,
orang lain dan
lingkungan.
Tujuan Khusus :
1.
Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
a)
Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati,
sebut nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
b)
Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
c)
Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak
menantang.
2. Klien dapat mengidentifikasi
penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan:
a)
Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
b)
Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
c)
Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien
dengan sikap tenang.
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda‑tanda
perilaku kekerasan.
Tindakan :
a) Anjurkan klien mengungkapkan yang
dialami dan dirasakan saat jengkel/kesal.
b) Observasi tanda perilaku kekerasan.
c) Simpulkan bersama klien
tanda‑tanda jengkel / kesal yang
dialami klien.
4.
Klien dapat mengidentifikasi perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan.
Tindakan:
a) Anjurkan mengungkapkan perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan.
b) Bantu bermain peran sesuai dengan
perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
c) Tanyakan "apakah
dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai?"
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat
perilaku kekerasan.
Tindakan:
a) Bicarakan akibat/kerugian dari cara
yang dilakukan.
b) Bersama klien menyimpulkan akibat
dari cara yang digunakan.
c) Tanyakan apakah ingin mempelajari
cara baru yang sehat.
6. Klien dapat
mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku kekerasan
Tindakan :
a) Diskuiskan
kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien
b) Beri pujian
atas kegiatan fisik yang biasa di lakukan klien
c) Diskusikan
dua cara fisik yang paling mudah dilakukan untuk mencegah perilaku kekerasan,
yaitu : tarik nafas dalam dan pukul kasur serta bantal
7. Klien dapat
mendemostrasikan cara sosial untuk mencegah perilaku kekerasan
Tindakan :
a) Diskusikan
cara bicara yang baik dengan klien
b) Beri contoh
cara berbicara yang baik
c) Minta klien
mengikuti contoh cara bicara yang baik
d) Diskusikan
dengan klien tentang waktu dan kondisi cara bicara yang dapat dilatih diruangan
8. Klien dapat mengidentifikasi cara
konstruktif dalam berespon terhadap kemarahan.
Tindakan :
a) Beri pujian jika mengetahui cara
lain yang sehat.
b) Diskusikan cara lain yang
sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal, berolah raga, memukul
bantal / kasur.
c) Secara verbal : katakan bahwa anda
sedang marah atau kesal / tersinggung
d) Secara spiritual : berdo'a,
sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk diberi kesabaran.
9.
Klien dapat mengidentifikasi cara
mengontrol perilaku kekerasan.
Tindakan:
a) Bantu memilih cara yang paling
tepat.
b) Bantu mengidentifikasi manfaat cara
yang telah dipilih.
c) Bantu mensimulasikan cara yang telah
dipilih.
d) Beri reinforcement positif atas
keberhasilan yang dicapai dalam simulasi.
e) Anjurkan menggunakan cara yang telah
dipilih saat jengkel / marah.
10. Klien mendapat dukungan dari
keluarga.
Tindakan :
a)
Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui
pertemuan keluarga.
b)
Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
11. Klien dapat menggunakan obat dengan
benar (sesuai program).
Tindakan:
a)
Diskusikan dengan klien tentang obat
(nama, dosis, frekuensi, efek dan efek samping).
b)
Bantu klien mengunakan obat dengan
prinsip 5 benar (nama klien, obat, dosis, cara dan waktu).
c)
Anjurkan untuk membicarakan efek dan
efek samping obat yang dirasakan.
(Nita Fitria, 2009. hal 148)
STRATEGI PELAKSANAAN (SP) 1 P
RESIKO PERILAKU KEKERASAN
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN
Hari/tanggal :
7 Februari 2012
Nama klien :
Nn. M
No. MR :
Dx / SP ke / Pertemuan ke :
I
Nama perawat pelaksana :
Perawat A
Resiko
perilaku kekerasan
A. PROSES KEPERAWATAN
1.
Kondisi Klien :
Subyektif
:
·
Klien mengatakan benci atau kesal pada
seseorang.
·
Klien suka membentak dan menyerang
orang yang
mengusiknya jika sedang kesal
atau marah.
·
Riwayat perilaku
kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
Obyektif
·
Mata merah, wajah agak merah.
·
Nada suara tinggi dan keras, bicara
menguasai.
·
Ekspresi marah saat membicarakan orang,
pandangan tajam.
·
Merusak dan melempar
barang‑barang
2.
Diagnosa 1: perilaku kekerasan
Tujuan Umum : Klien terhindar dari mencederai diri,
orang lain dan
lingkungan.
B. STRATEGI PELAKSANAAN
1. Orientasi :
·
Salam Teraupetik
“Selamat pagi Mbak. Perkenalkan nama
saya Anik wijayanti, panggil saja Anik.
Saya adalah mahasiswa AKPER Muhammadiyah Kendal. Nama Mbak siapa dan suka dipanggil apa? Baiklah mulai sekarang saya akan pangil Mbak Mita saja, ya”
Saya adalah mahasiswa AKPER Muhammadiyah Kendal. Nama Mbak siapa dan suka dipanggil apa? Baiklah mulai sekarang saya akan pangil Mbak Mita saja, ya”
·
Evaluasi/validasi
“kalau boleh tahu, sudah berapa lama
Mbak Mita di sini ? Apakah Mbak Mita masih ingat siapa yang membawa kesini ?
bagaimana perasaan Mbak saat ini? Saya lihat Mbak sering tampak marah dan
kesal, sekarang Mbak masih merasa kesal atau marah ?”
· Kontrak
“Bagaimana kalau kita bercakap-cakap
tentang hal-hal yang membuat Mbak Mita marah dan bagaimana cara mengontrolnya?
Ok. Mbak?”
“ Tidak lama kok, 15 menit saja”.
“Mbak senangnya kita berbicaranya
dimana?. Dimana saja boleh kok, asal Mbak merasa nyaman. Baiklah, berarti kita
berbicara disini saja ya, Mbak”
2. Kerja :
“Nah, sekarang coba Mbak ceritakan
Apa yang membuat Mbak Mita merasa marah? ”
Apakah sebelumnya mbak pernah marah?
Terus, penyebabnya apa? Samakah dengan yang sekarang?”
“Lalu saat Mbak sedang marah apa yang
akan Mbak rasakan? Apakah Mbak merasa sangat kesal, dada Mbak
berdebar-debar lebih kencang, mata melotot, rahang terkatup rapat dan
ingin mengamuk? ”
“Setelah itu apa yang Mbak Mita
lakukan? ”
“Apakah dengnan cara itu marah/kesal
Mbak dapat terselesaikan? ” Ya tentu tidak, apa kerugian yang Mbak Mita alami?”
“Menurut Mbak Mita adakah cara lain
yang lebih baik? Maukah Mbak Mita belajar cara mengungkapkan kemarahan dengan
baik tanpa menimbulkan kerugian?”
”Jadi, ada beberapa cara untuk
mengontrol kemarahan, Mbak. Salah satunya adalah dengan cara fisik. Jadi
melalui kegiatan fisik disalurkan rasa marah.”
”Ada beberapa cara, bagaimana kalau
kita belajar satu cara dulu? Namanya teknik napas dalam”
”Begini Mbak, kalau tanda-tanda
marah tadi sudah Mbak rasakan, maka Mbak berdiri atau duduk dengan rileks, lalu
tarik napas dari hidung, tahan sebentar, lalu keluarkan/tiup perlahan –lahan
melalui mulut”
“Ayo Mbak coba lakukan, tarik dari
hidung, bagus.., tahan, dan tiup melalui mulut. Nah, lakukan 5 kali. “
“Bagus sekali, Mbak sudah bisa
melakukannya”
“ Nah..Mbak Mita tadi telah
melakukan latihan teknik relaksasi napas dalam, sebaiknya latihan ini Mbak
lakukan secara rutin, sehingga bila sewaktu-waktu rasa marah itu muncul Mbak
sudah terbiasa melakukannya”
3. Terminasi :
·
Evaluasi
Evaluasi subjektif:
“Bagaiman perasaan Mbak setelah kita
berbincang-bincang dan melakukan latihan teknik relaksasi napas dalam tadi? Ya...betul,
dan kelihatannya Mbak terlihat sudah lebih rileks”.
Evaluasi objektif
”Coba Mbak sebutkan lagi apa yang
membuat Mbak marah, lalu apa yang Mbak rasakan saat itu dan apa yang akan Mbak
lakukan. Kemudian apa akibatnya...”
“Wah...bagus, Mbak masih ingat
semua...”
·
Tindak lanjut
“Bagaimana kalau latihan ini kita
masukkan dalam jadwal kegiatan sehari-hari Mbak?”
“Kapan waktu yang Mbak inginkan
untuk melakukan latihan ini? Bagaimana kalau setiap jam 11pagi?”
·
Kontrak yang akan datang
“ Nah, Mbak. Cara yang kita
praktikkan tadi baru salah satu dari teknik saja. Masih ada cara yang bisa
digunakan untuk mengatasi marah
Mbak. Cara yang kedua yaitu dengan teknik memukul bantal atau kasur.
“Bagaimana kalau
kita latihan cara yang kedua ini besok, Mbak maunya kita bertemu besok jam berapa?”“Kita
latihannya dimana, Mbak? Disini
saja lagi , Mbak” “ok, Mbak. Kalau begitu saya pamit dulu ya, Mbak....
Assalamualaikum”